Hadi, dulunya adalah seorang yang pemalu. Ia tidak begitu berani jika bicara di depan publik. Meskipun materi sudah ia kuasai, ia tak dapat mengatur kata-katanya tatkala berhadapan dengan banyak orang. Puluhan pasang mata yang memandangnya seakan mengaburkan poin demi poin yang hendak disampaikannya. Sudah begitu, butir-butir keringat tiba-tiba hadir tanpa diminta. Ditambah datangnya debar-debar di dada, jantung berdegup lebih kencang dari biasanya.
Tapi hari itu, ia mendapatkan amanah khusus dari murabbinya. “Akh Hadi, tolong antum berangkat gantikan ana ngisi daurah ya, ana ada tugas di luar kota.”
Kendati ragu akan kembali tremor seperti di kampus, Hadi tak bisa menolak. Ia sadar ini amanah. Ini tugas dakwah yang harus dilaksanakannya, sebagai bagian dari komitmen kedisiplinannya dalam tarbiyah. Maka berangkatlah Hadi ke masjid tempat daurah tersebut. Ia berdoa seperti doanya Nabi Musa, “Rabbishrahli shadri wa yassirlii amrii wahlul ‘uqdatan min lisaani yafqahuu qauli”
Kini Hadi telah menjadi salah seorang dai regional. Ia memimpin Ikadi di sebuah kabupaten, dan menjadi dai tetap sebuah perusahaan nasional. Tarbiyah membuatnya bertumbuh.
Kemampuan interpersonal Hadi juga meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Sentuhan tarbiyah membuatnya mampu bicara dari hati ke hati. Saat ini Hadi piawai dalam merekrut kader baru, mendekati tokoh, mengajak orang untuk berinfaq mendukung dakwah, hingga menjadi konsultan keluarga yang melayani berbagai kalangan di kotanya. Ia juga digandeng pemerintah menjadi konsultan senior. Tarbiyah membuatnya bertumbuh.
Meskipun sudah cukup dewasa, Ipud belum mampu membaca Al Qur’an dengan lancar. Namun Allah menganugerahinya sebuah nikmat besar: ia bergabung dalam tarbiyah dan istiqamah berproses. Pekan demi pekan halaqah tarbawiyah dijalaninya. Ratusan kali sudah bacaannya dibetulkan oleh murabbi dan ikhwah segrupnya. Dan kini, ia bukan saja lancar membaca Al Qur’an dengan tartil, Ipud bahkan telah hafal Al Qur’an 30 juz. Tarbiyah membuatnya bertumbuh.
Ibnu memiliki cerita lain. Ia dikenal sebagai orang yang tak memiliki semangat berdagang, semangat berjualan dan semangat bisnis. Maka pilihan maisyahnya selalu menjadi buruh atau menjadi karyawan. Tahun demi tahun tarbiyah dijalaninya, ia bertemu dengan banyak ikhwah dari berbagai latar belakang profesi. Sebagiannya adalah para pengusaha sukses. Ketika membahas hadits tentang pintu rezeki serta taujih Hasan Al Banna tentang bisnis, ia termotivasi. Ditambah pengalaman dan saran dari ikhwah pengusaha, terdoronglah Ibnu mengembangkan bisnis. Kini, bukan saja bisnisnya berjalan, tetapi omsetnya juga tak kalah dari sejumlah pengusaha yang mengajarinya. Tarbiyah membuatnya bertumbuh.
Ikhwah fillah, salah satu akar kata yang membentuk tarbiyah adalah rabiya – yarba yang artinya tumbuh. Maknanya, tarbiyah itu membuat muslim bertumbuh. Tumbuh dalam berbagai aspek tarbiyah; ruhiyah, fikriyah, jasadiyah.
Dalam aspek ruhiyah, tarbiyah yang benar membuat seorang muslim bertumbuh ruhiyahnya. Aqidahnya menjadi lurus, jiwanya lebih bersih. Ia terjauhkan dari penyakit-penyakit hati dan makin dekat dengan kearifan.
Dalam aspek fikriyah, tarbiyah menumbuhkan fikrah Islamiyah dan pola pikir ilmiah. Tsaqafahnya bertambah dan ia juga terlatih dalam menyelesaikan masalah.
Dalam aspek jasadiyah, tarbiyah menumbuhkan pola hidup sehat. Sebab mereka sadar, muslim yang kuat lebih dicintai Allah daripada muslim yang lemah.
Ketika ketiga aspek dasar ini bertumbuh, potensi dan valensi seorang muslim pun bertumbuh. Tumbuhlah ia menjadi rijalud dakwah, rijalul ummah, bahkan rijalud daulah. [Muchlisin BK/Tarbiyah]
 
Top